Lama sudah mencoba memahami yang kusebut Sesal. Kamu pun tau betapa akrab Sesal dengan Diri yang selalu harus memilih. Kita pun tau, betapa getir suasana yang Sesal ciptakan. Tetapi itulah, peringatan yang benar seringnya dirasa atau terasa menyesakkan.
Yang ku fahami, sementara ini, Sesal adalah sahabat yang baik dan setia. Ia begitu tekunnya mengingatkanku bahwa aku telah keliru. Ia lah sahabat penasihat yang patut kuakrabi dan kucintai.
Kurasa, siapa pun tau bahwa Sesal suka membuat suasana tak nyaman. Maka, bagiku, kepada Hening aku mengadu. Kepada Hening aku buncahkan segala kejengkelan, kemarahan. Kepadanya pula biasanya aku curahkan segala ke-tak-berdaya-an.
Bila Sesal datang menyapa, aku segera lari kepada Hening. Kamu tau mengapa lari dari Sesal? Ah, ya, Sombong mangajariku begitu: aku harus percaya diri meskipun dalam keliru. Ia pun menegaskan bahwa “Sesal itu makhluk tak berguna, dungu, bodoh, minder, dan suka membuat kita tersiksa. Akrab dengannya hanya membuatmu terasing dan mengasingkan diri. Usir dan lupakan Sesal itu”.
Tololnya aku semakin nampak ketika kuamini sabda si Sombong. Rupanya, semakin keras kuenyahkan Sesal semakin setia ia menemani, semakin tekun sesal mengakrabi. Aku dibuatnya jengkel, marah, dan murka. Tetapi Sesal tak juga lelah, meskipun dayaku habis karena memusuhinya, dan aku tak mampu lagi lari.
Perlahan aku terima ia. Dengan senyum yang membayang, Sesal merengkuhku dengan hangat. Belainya aku nikmati. Kemudian aku mulai berkenan mengerti. Rupanya, Sesal tak bermaksud membuatku jengkel, marah dan murka dan semacamnya. Ia hanya membawa pesan bahwa aku telah keliru. Ia bagai lentera, bersamanya aku jejaki kenangan. Sesal tunjukan dan membimbingku hingga sampai kepada pengertian-pengertian. Ia setia menyertai.
…
Lari aku menghidari
Kepada keramaian
Kepada kegaduhan
Kepada kemegahan
Kepada kesuka-sukaan
Kepada kediaman
Kepada kedinginan
Kepada kesunyia
Lari aku kepada mereka
Teriak aku mencaci
Kepada kebodohan
Kepada ketololan
Kepada kekecewaan
Kepada kegetiran
Kepada keterasingan
Kepada kesepian
Kepada kekeliruan
Teriak aku kepada mereka
Sadarkan aku, Sesal
Hanya sombong yang menolak kamu datang
Kasihani aku, Sesal
Nasihati aku hingga tau tentang keliru
Ajaril aku, Sesal
Agar diri menikmati kesempatan
Sesalkan aku, Sesal
Ingin aku fahami pengertian ini
Saya percaya, Lin, bahwa yang terkandung dalam “sesama” tidak sekedar saya dan kamu dan kita dan dia dan mereka. Demikian karena keyakinanku adalah adanya Pencipta dan Karyanya, tak ada lain. Jadi, apa pun yang dikatakan sebagai ciptaan memiliki hak yang sama; memiliki kepatutan untuk dihormati, difahami, dan disyukuri. Bukankah tidak mungkin Tuhan menciptakan sesuatu yang sia-sia. Pun Sesal, dihadirkan Tuhan agar kita tahu letak kekeliruan-kekeliruan. Bukankah kamu pun percaya bahwa sejarah dalam AlQur’an juga bermaksud agar kita belajar. Maaf jika saya keliru. Maka, bagiku, kehadiran Sesal ibarat lentera diantara gelapnya ke-tidak-tau-an.
Waktu itu saya lupa sampaikan: penyesalan adalah kata sifat dari Si Sesal. Setiap sifat meniscayakan adanya yang disifati. Saya yakin bahwa yang disifatinya adalah segala yang keliru—atau setidak-tidaknya yang kita anggap keliru.
Bandung, 21 Januari 2010
By Aksaraku
———————————————————————————————-
Bongkar-bongkar FILE, siapa tahu ketemu mood yang telah lama menghilang. Seperti menemukan harta karun. Membaca kiriman kawan. Pak kyai kita. Pernah juga kusisipkan dalam tulisan. Tak ada salahnya jika di publish, siapa tahu ada manfaatnya. Omnya Usman emang keren. 🙂