Lompat ke konten
Home » Pandawa Balapan Sepeda

Pandawa Balapan Sepeda

“Saben wayah lingsir wengi… Mripat iki ora biso turu… Tansah kelingan sliramu… Wong ayu kang dadi pepujanku”

“Bingung rasane atiku… Arep sambat nanging karo sopo… Nyatane ora kuwowo… Nyesake atiku sansoyo nelongso”

“Wis tak lali-lali… Malah sansoyo kelingan… Nganti tekan mbesok kapan nggonku… Mendem ora biso turu”

“Opo iki sing jenenge… Wong kang lagi ke taman asmoro… Prasasat ra biso lali… Esuk awan bengi tansah mbedo ati”  (Ketaman Asmara-Didi Kempot)

Pak guru Bain berdendang sambil mengayuh pedal pelan-pelan. Dengan sepeda onthel tuanya yang sangat beliau banggakan. Menyusuri jalanan kampung chentingsari yang nyaman. Lagu campursari ketaman asmara memang mewakili hatinya, hati pada mbok Bon yang selalu diimpikannya. Dari keluar pagar sekolah Canting lagu itu selalu didendangkan.

Sementara dari arah belakang terlihat genk pandawa sedang kebut-kebutan. Hendra, Gugun, Jenni, Sigit dan Ngashim berlomba-lomba untuk jadi yang terdepan. Memimpin di depan saling bergantian.

“Berhenti para pandawa” begitu kata Gugun yang saat itu memimpin di depan. Dan genk pandawa pun menghentikan laju sepeda-sepedanya.

“Ono opo to boss? Lagi seru nih” kata Jenni.

Gugun tak menjawab, cuma alisnya diangkat dan jarinya menunjuk sesuatu memberikan isyarat tersembunyi  pada teman-temannya. Keempat pandawa lainnya langsung mengerti maksud dari Gugun tersebut. Kemudian mereka saling berbisik merencanakan sesuatu.

“Siiip, Ok bergerak” kata mereka sambil bersiap melanjutkan perjalanan.

“Sugeng siang Pak Guru” Begitu sapa Hendra pada saat anak-anak itu sejajar dengan gerak sepeda pak Bain.

“Siang anak-anak” Jawab pak Bain.

“Wah…wah…wah… sepertinya pak Bain lagi bergembira nih. Jatuh cinta ya pak guru hayoo ngaku?” Kata Sigit.

“Walah jere sopo? Sok tau elu ya? Guwe biasa aja lageee” jawab pak Bain dengan logatnya yang seperti orang metropolitan mencoba membohongi anak-anak.

“Lah itu dari tadi nyanyi ketaman asmara terus” Jawab Ngashim.

“Eh pak guru kayaknya kalau kita balapan sepeda seru nih? Berani nggak lawan kita?” Gugun memotong pembicaraan.

Sebelum pak Bain malu digodain anak-anak karena jatuh cinta, pak Bain melihat ajakan gugun sebagai peluang untuk mengalihkan pembicaraan. Lagi pula setiap dekat dengan genk pandawa jiwa mudanya pun berapi-api. Maklum ada jiwa pembalap yang tidak bisa disalurkan dalam sirkuit sungguhan. Jadi langsung saja diiyakan ajakan anak-anak tersebut.

“wokeeeh, guwe kagak takut” Jawab pak Bain.

“Tapi tunggu dulu pak guru, kalau balapan nggak ada hadiahnya nggak bakalan seru” Jawab Gugun.

“Bagaimana kalau kita taruhan?” kata Hendra.

“Wealah anak-anak. Bulan puasa dilarang taruhan. Dosa! Apa nanti kata dunia?” jawab pak Bain.

“Ah kan kecil-kecilan pak guru, dosanya juga kecil terus kita tanggung bareng-bareng jadi kan ringan. Buat seru-seruan aja pak guru” Kata ngashim memprovokasi pak Guru.

“Baiklah kalau begitu, sepuluh ribuan” Kata Pak guru bain.

“Ok” jawab anak-anak girang.

Mereka berlima segera melaksanakan niat busuknya. Ngashim yang paling kecil semrinthil mesti didepan sedang keempat lainnya akan mencoba menahan laju sepeda pak Bain.

Begitu aba-aba dibunyikan segera saja Ngashim meluncur paling depan. Pak Bain nggak mau kalah, dengan sepeda besarnya berusaha mengejar Ngashim. Empat pandawea lainnya tidak tinggal diam. Mereka semua berusaha mengganggu laju sepeda pak Bain.

Saling bergantian memimpin. Saling kepot. Bahkan Hendra hampir terguling saat mencoba menyenggol pak Bain ditikungan. Kalah body sepertinya. Sampai hampir pada titik finish yang disepakati genk pandawa mulai agak panic karena ternyata pak Bain susah dikalahkan. Tapi bukan genk pandawa kalau cepat menyerah. Ngashim mengeluarkan segenap tenaganya mengayuh sepeda, sedang keempat lainnya memepet sepeda pak Bain. Pak Bain mulai agak terdesak.

Bruuuuuuuuukkkkk.

Sepeluh meter sebelum titik akhir sepeda pak bain terguling. Genk pandawa cekikikan. Si Ngashim yang sudah sampai ditik finish tersenyum senang walaupun masih ngos-ngosan. Kemudian ia menghampiri pak Bain yang meringis kesakitan, mengulurkan tangan menagih sepuluh ribu yang dijanjikan. Dengan sangat terpaksa pak bain mengeluarkan selembar sepuluh ribuan.

“terima kasih pak guru, kita lanjut kapan-kapan” Kata ngashim.

“Sialan dasar anak-anak edan!” Pak Bain menggerutu.

[Bersambung]

By Lina Sophy

*) Just Fiction!!!! Para pelaku dilarang mendendam. Dan kejadian dalam cerita jangan ditiru ya… jelek banget soalnya. Special to Pak Guru Bain “mohon maap yaaaa dikerjain pandawa”

Baca juga kisah lainnya di “Balada Chentingsari”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *