Lompat ke konten
Home ยป Suatu Kali di Kamar Acak

Suatu Kali di Kamar Acak

Suatu Kali di Kamar Acak

Rupa-rupa pengetahuan diartikan. Ada menurut filasafat-lah, menurut psikologi-lah, menurut ini dan itu, menurut nurut barangkali juga ada. Dalam catatan ini, apa yang kita ketahui, baik secara inderawiah maupun nalariah, itulah pengetahuan. Nalariah disini ya yang terpikir, ya juga yang terasa. Jadi, di gampangkan saja, merujuk ke kata pengetahuan sebagai kata sifat, maka ia dibatasi sebagai segala yang diketahui.

Batasan disebut itu terkesan terlalu luas, bahkan nampaknya hanya berbatasan dengan ketiadaan. Sementara ketiadaan banyak yang menganggap sebagai kata bermakna nol, bahkan kosong. Tapi saya sedang bicarakan pengetahuan sebagai kata sifat atas penyifatan terhadap hal-hal yang sempat atau dihadirkan dalam benak, dalam ingatan. Tak peduli apakah yang diketahui itu golongan objektif atau subjektif; apakah itu khayalan yang dapat disimak bersama atau sekedar hal ilmiah menurut beberapa pakar saja. Kali ini saya benar-benar tak peduli dengan hal-hal begituan.

Kali ini saya lebih peduli kepada kopi hitam dan kretek kesayangan. Berkelan bersama mereka, melamun, melayang, liar dalam buana panca tengah hingga langit-langitnya lazuardi.

Di bait kedua, dikisahkan ada banyak pemikir yang rajin meruntut berbagai pengetahuan yang kemudian menjadi turus-turus keilmuan seperti sekarang ini. Di akhir bait ini, runutan-runutan itu hampir hilang dimakan kebodohan yang tiada tara. Toh sebanyak-banyaknya pemikir di suatu zaman, tetap saja segerintil orang.

Kisah yang tak boleh dipisahkan dari bait ke dua adalah di bait ke tiga. Dalam bait inilah ada dikisahkan terdapatnya sekaum yang memiliki ketekunan dalam minatnya menerangi otak-otak mendung. Yang namanya mendung ya tak berarti hujan. Dalam bait ke tiga, hujan dibawa bersama kaum tekun dan juju. Awal bait ini hingga pertengahan, kisahnya masih mengikis kaum pongah yang dikisahkan di akhir bait ke dua.

Tetapi, masih dalam bait ke tiga, saya menangkap ada keanehan. Ini di akhir baitnya. Selepas hujan yang mereka bawa, pelangi di antara langit dan bumi, hangat matahari, tumbuhan dan hewan, semua mesra. Tetapi kemudian satu ras saja, ras yang itu-itu juga, masih memelihara penasarannya. Penasaran ini yang menyuluhi keraguan dan mengobarkan kepongahan.ย  Di bait ini, saya masih betah memunguti makna di setiap aksarannya.

Bicaranya yang banyak, seolah membuncahkan setiap kegelisahan, kejenuhan, kejengkelan, dan ada kesan putus asa. Bicaranya yang nyerocos, hanya waktu singkat yang ia butuhkan untuk deret kalimat-kalimat yang sesuka-suka itu. Teman-temannya masih diam. Entah apa yang merka perhatikan. Atau mungkin mereka malah jadi melamunkan dirinya masing-masing: melamunkan kalau ia banyak mengetahui dan orang tau bahwa ia patut dihormati karena pengetahuan yang luas; atau bila pengetahuan terkesan mendalam, karena setiap omongannya sangan runtut dan ngejelimet, padahal untuk bahasan yang irit, lalu karena itu ia patut dihormati karena kedalaman pengetahuannya; atau mereka melamunkan rupa-rupa hal yang acak dan malah bingung dibuatnya; atau memang mereka menyimak dan mencoba sok pemikir, berambisi memahami sesuatu.

Di luar terdengar ribut, seperti pertengkaran. Tenyata, keributan di tivi kamar sebelah yang dikeraskan, sangat keras. Mungkin, jengkel dengan dialog ngawur itu, yang terhenti di kengawuran Kumid. Selang beberapa menit saja, si empunya kamar sebelah berteriak bodohnyaaa!! Kemudian ia nampak di kamar yang acak-acakan itu. Tanpa salam ia langsung mengabarkan layaknya tukang berita yang ngasal, gua heran, anak SMA pada tawuran, mahasiswa tawuran juga….” beritanya terpotong, padahal keliatanya masih banyak yang ingin disampaikan. Banyak yang mangap hendak sampaikan pendapat. Tapi Kumid langsung nyerocos.

Perhatikan saja, bagaimana sekolah dan kuliahan menciptakan manusia berpengetahuan, manusia berdaya, berilmu dibilangnya. Saya juga heran, masa ilmu menjadilan orang malah biadab! Atau kita kehabisan kata untuk menyebut itu apa, jadinya istilahnya ya ilmu saja.

Sepi lagi. Hanya bising iklan dari kamar sebelah yang empunyanya nimrung di kamar acak itu. Mereka saling diam, mungkin sebab apa yang mau diungkapkan sudah hilang gara-gara Kumid ngoceh lagi. Oiya, disebut kamar acak di sini karena kamar kost-an itu nyaris tak pernah rapi.

Yang sedari tadi berbaring ahirnya duduk, menyalakan rokok dan mencicipi kopi, kemudian yang aku tangkap dari bait-bait yang kamu sebut itu, yang dua dan tiga itu, itu tentang perjalanan sejarah, peradaban di bumi kita ini. Dan yang ke satu tidak ada kisahnya karena memang tidak ada informasi yang disepakati. Atau ada maksud lain, Mid? Rupa-rupanya masih ada yang penasaran. ”ayo, Mid, jelasin ke kita. Biar jelas. Ya berbagi lah.

Yang lainnya menyuarakan kalimat semakna. Intinya penasaran dengan penjelasan Kumid yang belum jelas. Memang nggak jelas apa yang hendak Kumid sampaikan. Tiba-tiba saja, datang mengantarkan pesanan kopi dan rokok dan roti panggang keju cokelat, langsung duduk, langsung ngoceh. Padahal ketika Kumid datang suasana sedang kekosongan wacana.

Menanggapi desakan teman-temannya yang semua mahasiswa, kumid mengawalinya dengan menatap sekejap semua wajah yang ada, kemudian tersenyum, kemudian tertunduk, kemudian saya hanya pensuruh. Kalian teman-teman lebih pantas menjelaskannya. Yang tadi anggap saja iklan radio, kemudian ia pamit untuk kembali bertugas.

Dan yang ditinggalkan tebahak. Entah. Mungkin, ada yang lucu di kamar itu selepas Kumid pergi. Mungkin juga karena Kumid ngedadak aneh. Sempat terdengar ada yang ngomong apa dia kesurupan, ya? Kemudian terdengar tautan tawa dan kata yang gemuruh, di kamar acak.

21 Mei 2010 parigimulya

12 tanggapan pada “Suatu Kali di Kamar Acak”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *