Lompat ke konten
Home » Tiket Perpustakaan (Cerpen Anak)

Tiket Perpustakaan (Cerpen Anak)

Hari ini adalah hari kepindahan keluarga kami. Papaku seorang dokter dan akan ditugaskan ke daerah yang agak terpencil. Daerah itu terletak agak jauh dari kota dan tidak mempunyai tenaga medis untuk melayani masyarakat. Sebetulnya papa bisa saja menolak tugas tersebut. Ada beberapa tawaran dari rumah sakit yang menawarkan pekerjaan dan jabatan pada papa. Namun papa menolaknya dan bersedia untuk tetap ditugaskan di daerah.

Menurut papa, tugas di daerah adalah suatu pengabdian. Pengabdian dirinya pada masyarakat sebagai wujud syukur atas segala kenikmatan yang diberikan oleh Tuhan pada kita. Tugas ini dapat membantu orang-orang yang benar-benar lebih membutuhkan. Dan itu sungguh mulia dibandingkan dengan materi yang ditawarkan pada papa. Itulah yang papa jelaskan padaku ketika aku merasa sedih meninggalkan rumah, teman-teman dan sekolah lamaku ini.

Lain lagi dengan mama. Mama selalu bilang semua akan baik-baik saja. Aku pasti akan dapat teman yang baru. Asalkan kita baik dan menghormati orang lain orang pun akan baik dan sayang sama kita. Mamaku adalah seorang penulis. Beberapa buku telah dibuatnya. Hampir sama dengan papa, kata mama menulis adalah pekerjaan yang mulia. Karena dengan menulis kita telah berbagi berbagai ilmu pada orang lain.

“Barang-barangmu sudah dimasukan semua kemobil sayang?” Tanya mama padaku.
“Sudah semuanya ma.” Jawabku.

Setelah itu kami sekeluarga berangkat menuju desa yang akan menjadi tempat tinggal kami yang baru. Selama perjalanan aku tertidur di dalam mobil. Sebetulnya aku masih merasa agak sedih meninggalkan semuanya. Selama kami tinggal disana kami akan menempati rumah dinas. Rumah itu tidak terlalu besar namun nyaman untuk ditempati. Mama menata kamarku dengan rapi dan indah. Ukuran kamarku memang tidak seluas kamar di rumah yang dulu, tapi aku menyukainya.

“Iyut, bangun sayang kita sudah sampai.” Kata papa membangunkanku begitu kami sampai di depan rumah kami yang baru.
“Iya pa.” jawabku sambil tersenyum padanya.

Iyut. Itulah panggilan papa dan mama kepadaku. Mereka memberiku nama Beauty Ilmiana. Mereka berharap aku akan menjadi orang yang cantik dan berilmu. Dua bulan lagi usiaku genap 12 tahun. Aku sekarang duduk di kelas lima SD.

***

Setelah beristirahat di rumah selama dua hari, aku baru diantarkan mama mendaftar di sekolah baruku. Sekolah ini tidaklah besar. Kondisinya sudah agak rusak namun masih bisa digunakan untuk belajar. Tidak mempunyai laboratorium, lapangan basket dan perpustakaan. Aku agak sedih melihatnya. Keadaannya sangat jauh berbeda dengan sekolahku yang dulu. Yang mempunyai bermacam-macam fasilitas untuk belajar kami.

Siswa yang bersekolah di SD ini juga tidak banyak. Satu kelas rata-rata berjumlah tidak lebih dari dua puluh siswa. Maklumlah karena desa ini adalah desa yang tertinggal. Masih ada anak-anak yang tidak bersekolah karena ketidak tahuan tentang pentingnya pendidikan.

“Hai teman-teman, namaku Beauty Ilmiana. Kalian bisa memanggilku Iyut saja. Aku baru pindah dari Jakarta dan akan belajar bersama kalian di sini.” Kataku saat memperkenalkan diri di kelas baruku.

“Iya anak-anak. Hari ini kita kedatangan murid baru yang akan belajar bersama kalian disini.” Kata bu guru. Anak-anak tersebut semua menatapku dan tersenyum ramah. Mereka semua menyambutku dengan senang. Dan sejak itulah aku mulai bersekolah di SD ini.

Selama beberapa hari ini aku mencoba beradaptasi di sekolah ini. sempat suatu hari aku mengeluh pada mamaku. Aku merasa tidak betah bersekolah di SD ini. Aku takut menjadi anak yang bodoh bersekolah disitu. Tapi mama segera menghiburku. Kata mama orang bodoh adalah orang yang tidak mau belajar. Dimanapun saja, asalkan kita mau belajar pasti kita jadi anak yang pandai. Aku tidak perlu khawatir akan menjadi anak yang bodoh jika bersekolah di sini. Kata-kata mama memang benar dan membuatku bersemangat.

***

Aku mulai merasa betah dan kerasan tinggal di desa ini. Orang-orang disini ramah-ramah. Begitu juga teman-temanku di sekolah. Mereka sangat baik dan sayang padaku sejak aku bergabung di kelas ini. Teman satu kelasku hanya berjumlah lima belas anak. Wali kelasku adalah ibu Ratmi. Beliau sangat sabar dan menyayangi kami semua.

Kami anak-anak kelas lima sangat kompak. Semua adalah teman yang baik dan saling membantu bila ada yang tidak paham dengan pelajaran. Isti, Dewi dan Reni adalah teman-teman yang paling dekat denganku. Rumah mereka berdekatan dengan rumahku sehingga kami selalu bersama-sama ketika pergi dan pulang sekolah. Kami juga sering mengerjakan PR bersama-sama. Mereka sering bermain dirumahku. Dan akupun sering ke rumah mereka.

***

Hobiku adalah membaca buku. Papa dan mama membiasakan aku untuk rajin membaca sejak kecil. Terutama mamaku, mamalah yang paling sering mengingatkan aku untuk rajin membaca. Papa dan mama selalu membelikan aku buku. Walaupun sekarang rumah kami jauh dari kota, tapi papa dan mama selalu menyempatkan beli jika sedang ada keperluan di kota.

Teman-temanku sangat suka jika aku meminjamkan buku pada mereka. Aku juga mengizinkan teman-temanku meminjam untuk di baca di rumah. Aku meminjamkannya dengan syarat mereka menjaga buku-buku itu dan mereka menyetujuinya. Papa dan mama juga ikut senang dengan hal itu.

“Teman-teman boleh kok kalau kalian ingin meminjamnya untuk dibaca di rumah.” Kataku pada mereka saat mereka berkunjung di rumahku.

“Benarkah itu Iyut?” Kata Dewi gembira.
“Boleh, asal bukunya harus di jaga baik-baik.” Jawabku.
“Kalau begitu aku pinjam buku ceritamu yang ini.” kata Isti sambil menunjukkan buku yang dipilihnya padaku.

“Aku pinjam komik aja Yut, bagus ada gambarnya.” Kata Vera yang baru kali itu melihat komik.

Teman-temanku memang tidak terbiasa membaca. Makanya mereka sangat senang ketika aku menawarkan pada mereka buku-bukuku. Aku merasa kasihan pada mereka. Karena mereka tidak memiliki kesempatan seperti teman-temanku yang ada di kota.

Seandainya di sekolah ada perpustakaan kan keadaanya tidak seperti ini. Pikirku dalam hati. Padahal di sekolah ada beberapa buku paket dari pemerintah hanya saja kurang terawat. Buku-buku tersebut di simpan di dalam lemari. Anak-anakpun tidak pernah berusaha untuk meminjamnya.

Keesokan harinya di sekolah aku memberanikan diri menemui Bu Ratmi. Aku mengutarakan ide yang aku pikirkan tadi malam. Tentang membuat perpustakaan di sekolah. Awalnya Bu Ratmi agak ragu dengan ideku itu. Beliau merasa tidak yakin apakah bisa membuat perpustakaan di sekolah ini. Namun setelah aku bujuk akhirnya beliau mengiyakan dan mendukung ideku. Kemudian meminta izin pada Kepala Sekolah tentang ide itu. Kepala Sekolah juga tidak keberatan akan hal itu dan menyerahkan urusan ini pada kami.

Setelah mendapatkan persetujuan dari Bu Ratmi dan Kepala Sekolah, aku segera memberitahukan ide tersebut pada teman-temanku. Semua temanku menyambut gembira. Hari itu juga kami menjalankan ide itu yaitu membuat sebuah perpustakaan.

Hari itu Bu Ratmi mengizinkan kita tidak belajar di kelas. Bu Rahmi ikut bersama anak-anak kelas lima membersihkan ruang kecil di sebelah kantor yang biasanya di jadikan gudang. Ruang itulah yang akan kita pakai sebagai perpustakaan. Buku-buku paket sekolah yang ada di lemari segera kami tata di ruangan itu.

Bu Ratmi bingung bagaimana mengelola perpustakaan itu. SD kami memang tidak memiliki tenaga pustakawan. Tenaga pustakawan adalah orang yang bekerja mengelola bahan pustaka di perpustakaan. Kami pun segera berunding untuk menyelesaikan masalah tersebut.

“Anak-anak, apakah kalian punya ide bagaimana mengelola perpustakaan kita ini.” Tanya Bu Ratmi pada kami.
“Bu bagaimana kalau kita saja yang mengelolanya.” Jawabku.
“Lalu bagaimana cara mengelolanya Iyut?” Tanya bu guru.

“Kita saja yang menjaganya secara bergantian Bu. Perpustakaan ini melayani anak-anak hanya saat jam istirahat saja. Jadi kita tidak perlu mencari tenaga perpustakaan.” Jawabku lagi.

“Boleh juga ide kamu Iyut. Kamu memang anak yang pandai. Anak-anak yang lain apakah kalian semua setuju dengan ide Iyut?” Kata Bu Rahmi menanyakan pada anak-anak lain.

“Setuju.” Jawab anak-anak kompak.

Akhirnya sekolahku mempunyai sebuah perpustakaan. Walaupun perpustakaan itu kecil dan sederhana tapi untuk saat ini sudah membuat kami semua senang. Kami berharap semoga suatu saat perpustakaan ini bisa berkembang lagi. Dan memberikan manfaat bagi siswa-siswi SD kami mendatang.

***

Sesampainya di rumah aku ceritakan kegiatan kami semua di sekolah pada papa dan mamaku. Papa dan mama senang sekali mendengar ceritaku. Bukan hanya itu papa dan mama juga akan menyumbangkan sebagian buku-buku kami untuk perpustakaan sekolah. Aku sangat senang mendengarnya. Teman-teman dan Bu Ratmi pasti juga akan gembira.

Benar dugaanku. Bu Ratmi dan teman-temanku di sekolah sangat senang mendengar papa dan mama akan menyumbangkan buku. Siang itu juga mama datang ke sekolah untuk mengantarnya. Dengan ceria kami segera menatanya di perpustakaan baru kami.

Setelah beberapa waktu perpustakaan kami semakin berkembang. Anak-anak menjadi senang membaca. Bukan hanya anak kelas lima yang memanfaatkan layanan perpustakaan itu. Anak-anak kelas lain pun ikut memanfaatkannya. Bahkan sekarang yang bertugas mengelola bukan hanya kelas lima. Kelas enam pun turut serta atas permintaan mereka.

Hasil dari adanya perpustakaan akhirnya dapat terlihat. Hasil ulangan dan ujian anak-anak lebih meningkat dibandingkan sebelum ada perpustakaan. Wawasan anak-anak menjadi semakin luas. Banyak hal yang kita dapat dengan membaca buku.

Aku pun tidak pernah menyesal lagi bersekolah di SD ini. Kata-kata mama dulu benar. Kalau kita mau belajar dan berusaha kita pasti jadi anak yang pandai. Dan yang paling sering mama katakan padaku adalah kita tidak harus mempunyai uang yang banyak jika kita ingin keliling dunia. Kita dapat berkali-kali keliling dunia dengan sebuah tiket perpustakaan. Karena buku adalah jendela dunia.

Perpustakaan SD (Gb. Google)
Perpustakaan SD (Gb. Google)

SELESAI

*) Cerpen anak-anak, ditulis karena prihatin dengan kondisi minimnya fasilitas perpustakaan di banyak Sekolah Dasar terutama di daerah. Beberapa waktu lalu ketika saya mengajar Pendidikan Kesetaraan KPB meminjam gedung SD, betapa kaget dan miris jika buku-buku paket hanya disimpan dan berdebu dalam lemari guru. Bagaimana orang Indonesia punya budaya membaca yang bagus jika tidak dibiasakan sedari kecil.

Salam Miris!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *