Lompat ke konten
Home » Menggali Sejarah dari Cilacap Heritage Fellowship Program “Jejak Belanda di Kota Cilacap”

Menggali Sejarah dari Cilacap Heritage Fellowship Program “Jejak Belanda di Kota Cilacap”

Bulan Agustus kemarin saya berkesempatan mengikuti kegiatan Cilacap Heritage Fellowship Program. Sebetulnya acara ini diperuntukkan bagi remaja Cilacap yang punya bakat minat dalam bidang kepenulisan, perupa dan movie maker, untuk diajak berkarya bareng mempersembahkan sesuatu untuk Cilacap. Tapi, karena saya pikir acara ini menarik, jadilah ikut ngirim aplikasi, eh barangkali rejeki kan?

Dan alhamdulillah memang nama saya masuk sebagai peserta. Jarang-jarang banget memang saya bisa ikutan event di kota sendiri. Tema heritage ini juga sungguh menarik. Saya sungguh tak paham sejarah Cilacap. Jadi, ini patut disyukuri. Iya nggak?

Apakah Cilacap Heritage Fellowship Program

Acara Cilacap Heritage Fellowship Program ini sendiri di latar belakangi akan minimnya referensi tentang sejarah Cilacap. Khususnya anak-anak, mereka sangat kesulitan ketika mencari bahan tugas sekolah. Bahan bacaan atau benda sejarah sangat sulit ditemukan. Untuk itulah, mas Insan selaku founder komunitas sangkan paran sekaligus penggagas acara ini yang difasilitasi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, berharap output dari kegiatan Cilacap Heritage Fellowship Program ini mampu melahirkan karya. Yang semoga, karya yang kami hasilkan memperkaya referensi literasi sejarah Cilacap.

Selama tiga hari kami belajar, mencoba mencerna materi dari narasumber yang jujur saya katakan bahwa minim informasi juga. Kami juga mengunjungi tempat-tempat bersejarah, kerkhof dan juga sempat melihat beberapa bangunan yang masih tersisa. Akan tetapi, ya beginilah. Saya merasa acara tiga hari yang saya ikuti ini hanya membuka secuil pengetahuan dari sejarah Cilacap. Cilacap kekurangan referensi, its true.

Materi yang kami pelajari tentang jejak Belanda hanya sebatas Kerkhof, dan penjelasan beberapa peninggalan bangunan, dan kisah-kisah kehidupan semasa pemerintahan Hindia Belanda. Kemudian materi tentang Dayeuh Luhur, ini asli saya ngeblank, saya tidak paham sama sekali cerita jaman kerajaan.

Selain materi di atas, kami juga sempat singgah ke pasemuan desa adat penganut aliran kepercayaan Bonokeling di Adipala Cilacap. Di sana, ada pemaparan juga dari narasumber tentang apa dan siapa para penganut aliran Bonokeling ini. Setidaknya ini menjawab rasa penasaran saya selama ini yang sering mendapati rombongan mereka saat melakukan perjalanan, jalan kaki ratusan orang dengan memakai pakaian adat. Mereka ziaroh ke leluhur di wilayah Pekuncen Jatilawang, Banyumas. Masih bingung siapa mereka? Googling yaw.

Jadi, ketika acara Cilacap Heritage Fellowship Program ini berakhir dan saya dituntut untuk mempersembahkan sebuah karya. Ini asli bikin saya agak kelojotan. Pikiran sudah pontang-panting mau cari referensi. Ini soal sejarah ya guys, jadi nggak asal seenak kita mengarang tulisan.

Output Kegiatan Cilacap Heritage Fellowship Program

PR kami, para peserta Cilacap Heritage Fellowship Program itu melahirkan karya. Karena saya fokus di penulisan, apalagi kaitannya sejarah yang wajib dilakukan adalah studi literasi dan riset sederhana. Ya ampun, ini terasa banget tersiksanya. Cari kemana? Ahaha. Lihat karya anak-anak perupa itu kayak rasa PD terjun bebas. Mereka cuma corat caret hasilnya langsung oke.

Hasil lukisan mas Alfian

Lalu, saya harus ngapain dong?

Alhamdulillah, dapat pinjaman buku tentang Cilacap (1830-1942) bangkit dan runtuhnya pelabuhan di Jawa dan berhasil download skripsi tentang Cilacap masa Hindia Belanda. Dan dapat juga beberapa artikel di internet yang bisa jadi bahan. Meski sangat terbatas, tetap berasa ada angin segar.

Join bersama anak kolcai (komunitas lukis cat air) mas Pras, berhasil membuat sebuah buku ilustrasi untuk anak-anak. Gambarnya asli kece banget, tapi sayang dari segi isi tulisan saya merasa sangat jauh dari sempurna, hiks.

Hasil ilustrasi mas Pras

Gemas kan lihat hasil ilustrasinya? Mana dapat bonus gambar anak kiting sedang bertualang pula.

Tentang Nyamuk Penakluk Benteng, Menyusuri Jejak Belanda di Cilacap

Cakep ya covernya? Ini hasil layout mas Insan. Wow, banget lah. Meskipun saya jadi makin merasa kecil disini. Tulisannya tidak memuaskan, jauh dari sempurna. Tapi, mudah-mudahan dari rasa yang tidak puas ini jadi memacu diri mempersembahkan karya yang lebih baik, kan?

Sedikit mengupas isi buku. Buku ini berisi tulisan-tulisan pendek dari beberapa tema. Dari kedatangan orang Belanda, kapan mulai datang? Tentang kali yasa, pelabuhan, rel kereta, kerkhof hingga ke telor malaria.

Cilacap masa itu punya julukan bagi orang-orang eropa sebagai “de grafder europeanen” Yang berarti kuburan bagi orang Eropa. Ini saking menakutkannya teror nyamuk pembawa wabah malaria. Banyak orang-orang penting yang hidupnya berakhir di sini. Salah satunya Theresia Von Lutzow, penulis terkenal kelahiran Jerman yang mengikuti suami bertugas untuk Hindia Belanda.

Selain itu, di pulau Nusakambangan sempat di bangun 2 benteng pertahanan, klinkers dan karangbolong. Benteng-benteng ini di bangun megah dan di desain maju pada masa itu berbentuk napoleon dan martello tower. Namun benteng-benteng ini akhirnya di tinggalkan bukan karena kalah perang, akan tetapi penjaganya satu persatu tumbang karena malaria.

Selain soal teror malaria, saya kisahkan juga tentang pembangunan kanal kali yasa. Kanal yang di buat untuk memperlancar transportasi angkutan hasil bumi yang akan di kirim ke Eropa.

Lihat postingan ini di Instagram

Kali Yasa Dalam Bahasa Jawa, kanal ini di sebut dengan kali yoso. Yoso artinya di gawe (di buat) dan Kali artinya sungai. Jadi, kali yasa artinya adalah sungai yang di buat. Kanal atau sungai buatan ini di bangun oleh Pemerintah Hindia Belanda. Tujuannya agar pengiriman hasil bumi dari pedalaman banyumas melalui sungai Serayu semakin lancar. Saat itu, perjalanan dari muara sungai serayu sampai pelabuhan banyak mengalami kendala. Proyek pembuatan kanal ini di bangun selama tiga tahun. Dimulai tahun 1831, akan tetapi mengalami kegagalan. Kemudian dibangun kembali dan berhasil selesai di tahun 1833. Selama dua tahun, ada pekerjasebanyak 1.800 orang per hari yang menggali kanal tersebut. Kondisi kali yasa saat ini, seperti dalam foto. Di manfaatkan nelayan untuk menyandarkan perahu. #CHFP #CilacapHeritageFellowshipProgram #linatussophydotcom #kaliyasa #cilacap #visitcilacap #bloggercilacap

Sebuah kiriman dibagikan oleh Lina Sophy (@linatussophy) pada

Rencananya, buku ini akan di cetak dan di bagikan secara gratis bagi sekolah-sekolah di Cilacap. Buat saya pribadi, tentunya senang dan merasa tertantang untuk bisa mempersembahkan lagi karya-karya yang bermanfaat.

Sebelum saya akhiri, saya wajib sampaikan ucapan terimakasih dong untuk mas Insan, sudah di beri kesempatan ikut Cilacap Heritage Fellowship Program. Terimakasih dan sukses selalu untuk Komunitas Sangkan Paran.

56 tanggapan pada “Menggali Sejarah dari Cilacap Heritage Fellowship Program “Jejak Belanda di Kota Cilacap””

    1. Iya, komunitas sangkan paran emang cihuy banget mbak. Ini rumahnya nerika anak-anak prakerin smk, dan anak-anak didiknya banyak memenangi film pendek sampai tingkat nasional. Mas Insan emang keren.

    1. Betul mbak Dian, saya yang ikutan acara ini juga baru tahu sedikit detail tentang peninggalan belanda di kota sendiri, dan jadi terpacu untuk bisa memperoleh pengetahuan lebih banyak lagi.

  1. Sampulnya keren, isinya juga insyaallah keren lah mbak, jangan merendah gitu ah.
    Semoga dengan dibagikannya buku ini ke anak-anak di sekolah, mereka juga makin tahu sejarah cilacap ya.
    Ih, dirimu keren, menjadi bagian untuk membuka wawasan generasi anak-anak tentang sejarah kabupaten kelahirannya

    1. Mudah-mudahan siy program ini berkelanjutan kak, dan menurut mas insan, bukan hanya komunitas sangkan paran yang difasilitasi program ini dari kemendikbud, ada beberapa lagi. Mudah2an siy nantinya menyebar ke kota lain.

  2. Gambar-gambar Mas Insan bagus sekali ya, Mbak. Seneng lihat coretan lukisannya.
    Senangnya bisa ikut Cilacap Heritage Fellowship Program, bisa ikut mencari pengetahuan tentang sejarah Kota Cilacap sekaligus menuliskannya dalam sebuah buku, keren, Mbaak!

  3. Tentang minimnya sumber dan informasi tentang heritage, bukan cuma Cilacap aja, Mbak. Tempat saya Purbalingga juga. Hanya seputar itu-itu saja yang berkembang dan tersebar di masyarakat. Untuk menggalinya belum ada. Cilacap udah mulai nih, bagus banget untuk menggali informasi sejarah di zaman dulu.

    Baru tahu juga, ada aliran kepercayaan Bonokeling di Adipala. Penasaran deh jadinya saya. Langsung googling deh.

  4. Program yang keren nih…kita jadi kenal ya sejarah Cilacap dengan lebih detail..Di daerhaku juga banyak peninggalan sejarah yang tidak terekspos dan tenggelam ditelan waktu

  5. Waah keren. Aku rasa bukan hanya Cilacap yang minim informasi dan literasi tentang daerahnya sendiri. Banyak masyarakat setempat di daerah lainnya yang minim juga informasi heritage. Semoga program Heritage Fellowship seperti di Cilacap ini diselenggarakan juga di daerah2 lain.

  6. Senangnya bisa ikut kegiatan ini, ya. Meski belum banyak pengetahuan tentang sejarah yang didapat dari pemateri, setidaknya bisa membuka jalan untuk nantinya bisa jadi sebuah karya. Eh, biasanya buku-buku sejarah tentang kota ada di perpusda, Mbak. Udah coba-coba main ke sana? Btw, kapan-kapan kopdar yukk, Mbak. Aku asli Banjarnegara. 🙂

  7. Appreciate dengan Sangkan Paran, dan mas Ihsannya,
    Cilacap memang referensi sejarahnya minim, nyaris ga ada. Saya jadi langsung google tentang si mas Insan selaku founder komunitas sangkan paran sekaligus penggagas acara ini.

    semoga Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan bisa terus menggali bebrapa daeah lainnya, yang sejenis Cilacap Heritage Fellowship Program

    aku pikir ini dari Kementerian Pariwisata loh tadinya

    1. Kerkhof itu sebutan untuk kuburan belanda (eropa) mbak. Dalam bahasa belanda artinya halaman gereja, dan dinamakan demikian karena jaman hindia belanda dulu, kuburan mereka ditempatkan tidak jauh dari gereja. Dan pasti lokasinya di pusat pemerintahan jaman itu mbak. Sayangnya, banyak kerkhof2 di kota lain yang sudah alih fungsi. Ini di cilacap juga tidak terawat, tapi masih lah ada bentuknya ?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *