Lompat ke konten
Home » Refleksi Indonesia | Jalan-jalan Mundur (Review Novel Entrok)

Refleksi Indonesia | Jalan-jalan Mundur (Review Novel Entrok)

Entrok
Entrok
Habis dalam sehari, Entrok. Buku setebal 282 halaman habis dalam sehari itu biasa. Asal buku itu menarik, bisa lupa segalanya. Lupa makan, lupa mandi, kalau disapa nggak nyahut atau diajak ngomong nggak nyambung.
 
Rasanya baca novel ini, seperti bertualang ke masa lampau. Merasakan sendiri pergantian zaman ke zaman. Dari sudut pandang BeHa (Entrok).
 
Berkisah tentang perjuangan Marni. Gambaran seorang perempuan Jawa buta huruf yang memuja leluhur. Salahkan dengan keyakinannya pada leluhur? Saya bukan orang yang suka asal main bilang salah atau benar. Marni tak pernah diajarkan dan dikenalkan dengan Tuhan yang kita percayai sekarang. 
 
Ulet dan sangat berkarakter. Saat Marni beranjak dewasa, ketika bagian-bagian tubuh mulai berubah dari perempuan anak-anak menjadi dewasa. Mendapati dirinya dan ibunya sangat miskin yang tak pernah memiliki sekeping uang pun. Dia hanya punya satu keinginan. BH, Entrok dalam bahasa setempat (Magetan-Jatim). Yang akan membuatnya merasa nyaman bergerak ketika dadanya tumbuh membesar. Pada zamannya, BH merupakan barang yang tak terbeli.
 
Harapan. Harapan disini adalah keinginan besar seorang gadis belia Marni yang membuatnya bisa merubah nasib. Menjadi buruh kupas kulit singkong. Harapannya belom terwujud dan mungkin tak akan terwujud jika selamanya ia hanya jadi buruh kupas singkong. Dia beralih profesi jadi kuli, meski hal itu menurut adata “tidak pantas” dilakukan seorang perempuan. Ia berani mendobrak tradisi. Mimpinya akhirnya sampai terwujud. BH terbeli. Lantas puas dengan apa yang dia miliki? Tidak, Marni ingin merubah keadaan hidupnya. Dari uang yang terkumpul dijadikan modal dagang. Meski pada akhirnya, Marni menjadi seorang rentenir. Penjual duit. Salahkah? Jika dilakukan oleh orang yang “mengerti” iya, tapi bagi Marni?
 
Rahayu, anak Marni. Seorang yang mengenal Tuhan dari sekolah dan belajar. Selalu bersinggungan dengan Marni. Pemuja leluhur vs penjunjung akal sehat yang berTuhan dan taat. Konflik yang dikemas menurut saya menarik.
 
Sisi lain yang bisa dipelajari dari novel ini, sejarah Indonesia. Zaman penumpasan PKI. Zaman dimana penguasa betul-betul berkuasa. Pun, lagi-lagi, saat membaca seperti berada dalam masa itu.
 
Entrok – Okky Madasari. Recommended.
 
sophy
cilacap | 16 Sept 2012
Tag:

6 tanggapan pada “Refleksi Indonesia | Jalan-jalan Mundur (Review Novel Entrok)”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *