Jalan ziarah seminggu yang lalu itu merupakan kebetulan yang menyenangkan. Iya, tanpa perencanaan jauh-jauh hari. Berawal kunjungan teman mondok abahnya Sulthon sewaktu di Ploso Kediri, kang Sodik yang punya PR untuk segera ziarah ke beberapa nama.
Tujuan dan nama yang disebut terasa asing, jadilah minta bantuan google buat nyari. Dari hasil searching tempatnya nggak begitu jauh dari rumah padahal. Naik motor paling setengah jam, jalan santai nggak pakai ngebut. So, saya mengajukan diri untuk ikut doooong
Jadilah Sabtu pagi, 2 Desember kita jalan. Tak lupa bawa bekal nasi, mendoan dan sambal kentang untuk ngisi perut disana. Sempat diprotes kang Sodik ngapain repot, kalau paper kan tinggal njajan saja. Etapiiiii feeling emak-emak emang jarang meleset. Sampai disana, tempatnya benar-benar sepi, tak ada pengunjung selain kita berempat. Jadi mana ada pedagang!
Oya, belum cerita perjalanan kesananya. Jadi, kita sempat nyasar dulu sampai lumayan jauh. Googlenya bukan tidak bisa diandalkan, tapi signalnya yang kambuhan. Tapi nyasarnya nggak bikin kita BT kok, soalnya kita menyusuri jalan membelah gunung. Pemandangan teramat memesona, meski sayanya deg deg serrrr lihat kanan kiri jurang.
Ki Ageng Gumelem, Kyai Nur Daiman dan Ki Ageng Giring.
Sesampai di komplek makam kita bingung. Petunjuk yang ada hanya tulisan aksara Jawa dan huruf latin yang kita tak tahu apa artinya. Duh, begini lah nasib orang Jawa yang gagal jadi wong Jawa, deuh!
Untung saja ada penduduk yang lewat depan komplek makam. Agar kita nggak salah, kita tanya rumah juru kunci yang alhamdulilah rumah tidak jauh dari komplek dan beliaunya ada di tempat.
Dengan di antar berkeliling, sambil pula pak kuncen bercerita sejarahnya. Tiga nama tersebut saling berhubungan erat dengan sejarah kerajaan Mataram. Dari sinilah silsilah raja-raja Mataram diturunkan, dari Ki Ageng Giring I.
Saya sendiri kurang begitu paham soal sejarah. Jadi ketika dijelaskan pun seringnya cuma iya iya tapi aslinya kurang paham! Cuma intinya, dahulu Ki Ageng Giring sampai ke daerah Gumelem ini untuk menyebarkan agama Islam sekitar abad 16.
Ketika beliau wafat, para pengikutnya bermaksud mengantarkan ke gunung kidul Yogyakarta. Namun dalam perjalanan kesana, di sebuah bukit terjadi peristiwa yang menyebabkan tanah yang ditempati untuk meletakkan jenazah Ki Ageng Giring ambles. Dan ketika para pengikutnya bermaksud menyelamatkan dan membuka keranda ternyata jenazah Ki Ageng Giring tidak ditemukan atau menghilang (Maksum).
Karena peristiwa tersebut, akhirnya hanya keranda dan kain mori yang dikubur ditempat hilangnya jenazah. Dan kemudian bukit tersebut dinamakan girilangan. Giri berarti gunung, langan artinya hilang.
Sedangkan Ki Ageng Gumelem, merupakan kepercayaan dari Keraton yang ditugaskan menjaga girilangan. Ki Ageng Gumelem ini juga mendapat mandat sebagai Demang pertama kali di daerah ini.
Lain cerita dengan kyai Nur Daiman, yang bisa saya tangkap dari cerita pak kuncen bahwa beliau merupakan arsitektur dari bangunan-bangunan bersejarah seperti Madjid Agung dan kantor Kabupaten di wilayah Banyumas dan Cilacap.
Karena saya bawa bocah cilik aktif, urusan berdoa biar jadi urusan Abah Agung dan kang Sodik. Saya mengikuti si Kibo pecicilan sambil mengambil gambar. Oya soal bangunan komplek makam ini juga khas Keraton.
Bangunandan gapura dibuat dari tatanan batu bata yang sudah berusia ratusan tahun. Menurut pak kuncen lagi siy bangunan ini terakhir dipugar tahun 1847. Tua sekali bukan? Buat yang hobi Selfi, bisa lah lokasi ini jadi background foto yang tak biasa dan keren.
Yang berminat mengunjungi, lokasi ini berada di Gumelem. Cari saja daerah Klampok Banjarnegara. Dari sana tinggal tanya saja sama warga atau mengikuti keterangan jalan. Atau Googling saja.
Salam! ?